Kamu suka jalan-jalan? Biasanya jalan kemana dan ngapain? Snorkling atau diving di tengah laut? Lihat sunset dan sunrise di pantai? City trip? Wisata kuliner? Atau naik gunung?
Dari beragam tipe-tipe jalan tadi, salah satu yang terasa berat dan butuh bekal khusus pastinya naik gunung. Dulu, aktivitas naik gunung bakal lekat banget sama anak-anak mapala atau anak-anak pecinta lingkungan yang terkesan kuat, gahar dan mandiri banget. Jauh beda sama kondisi sekarang, naik gunung bisa dijalanin oleh siapa pun, orang kantoran, kaum sosialita, bahkan ibu rumah tangga.
Aku sendiri, yang tergolong sebagai orang kantoran, mulai punya keinginan untuk bisa mendaki gunung sejak tahun 2015. Alasannya sederhana, ingin keluar dari rutinitas dan hiruk pikuk pekerjaan dan bisingnya ibu kota. Dan tentunya menyegarkan mata, pikiran dan perasaan dengan pemandangan dan suasana yang menenangkan yang akan disuguhkan alam semesta.
Pemandangan Gunung Meranti dari Kawah Ijen |
Pemandangan pegunungan bernuansa biru dengan gumpalan awan dan hamparan pepohonana berwarna hijau seperti gambar di atas tentu menjadi salah satu daya tarik dan sekaligus daya dorong untuk mendaki gunung. Pemandangan seperti itu lah yang ku inginkan untuk menenangkan diri dan me-recharge energi. Senang sekali aku bisa merasakan dan menikmati keindahan itu saat mendaki Gunung Ijen di Banyuwangi tahun lalu.
Selain pemandangan syahdu yang kita dapatkan dari pendakian gunung, kita juga akan mendapatkan banyak teman seperjalanan dan teman sependakian yang bisa kita temui selama masa-masa pendakian dan summit. Salah satu lesson learn berharga yang ku dapat saat mendaki gunung adalah kita dapat melihat karakter, ketulusan dan rasa gotong royong dan kebersamaan antar teman-teman sependakian.
Di atas gunung kita bisa menjalin pertemanan dengan sesama pendaki dari mana pun! |
Teman-teman sependakian Gunung Ijen |
Cerita tadi baru sepenggal cerita manis saat naik gunung. Dan sesungguhnya ada banyak juga cerita-cerita yang melelahkan di balik suksesnya seorang pendaki sampai puncak. Pun, kalau kita mau naik gunung kita juga harus belajar keterampilan survival dan memahami fakta-fakta serta mitos yang santer terdengar mengenai pendakian gunung.
Sebagai seorang yang masih awam, dan masih penasaran dengan aktivitas naik gunung, aku senang sekali ada acara sharing yang membedah fakta dan mitos naik gunung yang diselenggarakan KUBBU BPJ bersama dengan RS Firdaus, Minggu 27 Agustus kemarin di Casapatsong's Kitchen, Cikini.
Dalam acara ini hadir dr. Ridho Adriansyah (RS Firdaus), Harley B. Sasta (Pegiat alam, penulis, pemerhati konservasi alam e-magazine mountmag), Tyo Survival (Ex-Host Jejak Petualang & Co-Host Berburu Trans TV), Siti Maryam (Survivor 4 hari 3 malam di Rinjani), Edi M. Yamin (Founder BPJ) sebagai narasumber pada acara sharing kemarin.
Para Narasumber |
Ternyata, ada banyak hal loh yang perlu kita tahu dan pelajari sebelum naik gunung! Biar kita siap menghadapi berbagai macam kondisi di gunung yang tak menentu. Nah berikut ini, beberapa hal yang perlu kita siapkan:
Pertama, siap fisik. Medan perjalanan ke gunung pastinya lebih berat dibanding jenis-jenis traveling lain. Oleh karena itu, kita harus banget memersiapkan latihan fisik sebelum naik gunung dan kondisi yang prima saat berangkat. Seperti yang diungkapkan oleh dr. Ridho Adriansyah dari RS Firdaus, kondsi fisik manusa akan mengalami gangguan jika berada di wilayah dengan ketinggian di atas 3.500 mdpl. Gejala paling sederhana dari gangguan ini yakni pusing dan mual.
Ada baiknya juga sebelum naik gunung, kita memeriksa kondisi fisik terlebih dahulu. Sehingga kita bisa mengukur kondisi kesehatan dan menyiapkaan vitamin atau obat-obatan yang diperlukan saat mendaki gunung. Untuk mengecek kesehatanmu, kamu bisa juga menyambangi RS Firdaus yang akan melayanimu dengan sepenuh hati dan tentunya memberikan pelayanan yang baik bagi para pemegang kartu BPJS.
Kedua, siap mental. Kesiapan mental tentu menjadi salah satu hal utama dan sangat penting ketika kita akan mendaki gunung. Dengan mental yang siap seyogyanya kita bisa melampui proses pendakian dan perjalanan pulang dengan tenang dan selamat. Kesiapan mental juga amat dibutuhkan ketika kita mengalami gangguan-gangguan selama dalam perjalanan. Kesiapan mental yang kuat selayaknya cerita Siti Maryam, yang bisa bertahan hingga 4 hari 3 malam di tengah belantara gunung dan terpisah dari rombongan di Gunung Rinjani.
Ketiga dan keempat, siap peralatan dan pengetahuan survival. Peralatan tentu menjadi faktor yang menunjang keselamatan dan kenyamanan kita selama perjalanan mendaki gunung. Seperti sharing yang dibawakan oleh Mas Tyo, kita harus membawa peralatan yang sesuai kebutuhan dan memahami cara-cara penggunaan dan manfaatnya saat di lapangan.
Kelima, siap bahan makanan. Yup, bahan makanan tentu jadi alat tempur yang wajib disiapkan kalau mau naik gunung. Pasalnya, di atas gunung sana pasti akan kesulitan ya buat belanja bahan makanan buat dimasak dan dimakan di sana. Selain itu, kita juga harus punya stok makanan kudapan yang bisa jadi sumber energi dan jangan terpisah dari tas yang selalu kita bawa kemana pun. Kudapan sumber energi bisa berupa coklat, madu, fitbar atau pun snack yang mengandung karbohidrat. Pelajaran ini kutarik dari pengalaman Mba Siti yang terpisah dari rombongan selama 4 hari dan bertahan hanya dengan berbekal madu dan permen karena tasnya juga terpisah dengan dirinya. Pengalaman ini benar-benar jadi pembelajaran yang penting!
Keenam, mengetahui adat istiadat dari lokasi gunung. Layaknya, peribahasa di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, maka setiap kali kita hendak menaiki gunung di suatu wilayah tentunya kita juga harus memahami dan menghormati peraturan dan adat istiadat dari lokasi setempat. Selain itu, tentu kita juga harus turut menjaga kebersihan lingkungan gunung seperti ulasan dari Mas Harley.
Ketujuh, siap teman perjalanan. Selama perjalanan dan pendakian tentu kita membutuhkan teman perjalanan yang solid, setia dan mau saling membantu. Jangan sampai deh naik gunung tapi nekat sendiri dan ga punya teman yang bisa diajak kerjasama pas naik gunung.